Tuesday, August 18, 2009

[media-bali] PENYAIR DAN SENIMAN BALI DALAM RENDRA : ZIARAH SEJARAH KITA [4 Attachments]

 
[Attachment(s) from satrio welang included below]

BERBEDA dengan peringatan 17 Agustus sebelum-sebelumnya dengan sejumlah lomba, tahun ini di Sector Bar - Restaurant-Lounge & Event House Sanur Bali justru digelar parade puisi mengenang WS Rendra, Senin (17/8).


Acara yang bertema Rendra : Ziarah Sejarah Kita ini diadakan oleh penyair, perupa, pemerhati seni dan wartawan Bali diantaranya Warih, Tan Lioe Ie, Komunitas Sahaja, Bali Mangsi, Mercya Evers, Grace Jeanie, Ema Sukarelawanto, Hartanto, Maha Art Gallery serta sejumlah seniman lainnya.

Sejumlah sajak karya maestro almarhum WS Rendra dibawakan mulai karya masterpiecenya Blues untuk Bonnie yang dibawakan dengan indah oleh Tan Lioe Ie, disusul Sajak seorang tua untuk istrinya yang dibacakan berdua oleh komunitas Sahaja, Natya penyair cilik kelas 2 SMP membawakan sajak Matahari hingga pamflet-pamfletnya seperti potret pembangunan dalam puisi dibawakan secara bergantian usai dibuka oleh performance art oleh Sura dan prolog yang dibawakan Warih Wisatsana. Puncaknya diputar video dokumentasi Rendra, potongan-potongan uneg-uneg Rendra dan pementasannya kemudian ditutup oleh lagu Indonesia pusaka uyang dinyanyikan secara bersam-sama.

Di pertengahan lagu, Grace Jeanie membacakan sebuah SMS dari Ken Zuraida yang saat itu dikirimkan melalui penyair Hartanto dan ditutup dengan sajak terakhir Rendra yang belum sempat diberi judul saat di RS Mitra Keluarga diidirngi denting biola Natya.


Acara yang digelar secara sederhana ini ternyata juga mendapat respon yang luar biasa dari sejumlah seniman dan penyair muda, pertunjukan pun terus mengalir diantaranya Putu Eddy yang akan merespon Rendra dalam bentuk instalasi kepala. Moch Satrio Welang yang membawakan sajak 'Doa Orang Lapar' tampil mengejutkan dengan mengekspolarasi puisi tersebut dengan pembacaan puisi ditengah-tengah kolam, menambah kesan dramatik. Juga tampil membaca puisi yakni Rosalina Norita, Yenli Wijaya, Hartanto, Arta Teater Bastra Samarinda, atraksi pantomim dari Tim Ilustrasi Ponorogo, musikalisasi puisi dari Syech Brother.


"Saya sangat terharu ternyata respon kawan-kawan luar biasa, Bermula dari kegelisahan kami, kami shock dengan meninggalnya sang Burung Merak. Kemudian saya saling kontak dengan Mas Warih yang saat itu sedang menghadiri pemakaman Rendra. Ternyata kegelisahan serupa juga dialami oleh kawan-kawan dan kami sepakat mempertemukan kegelisahan itu dalam bentuk acara ini," ujar Grace Jeanie, Public Relations Manager Sector.

Menurut Jeanie, acara ini dipersiapkan sangat sederhana karena persiapan sangat singkat kurang dari 6 hari. Disinggung mengenai pemilihan waktu, menurut Jeanie karena kawan-kawan melihat tanggal 17 Agustus adalah momen yang tepat sekaligus sebagai refleksi 64 tahun peringatan kemerdekaan RI. Rencananya, imbuh Sudiani dari komunitas Sahaja,  awal November saat peringatan 100 hari WS rendra akan kembali digelar event bersama. (*)

( Grace Jeanie)

 

Rendra : Mempertimbangkan Kita

Mempertimbangkan peran dan kehadiran Rendra, pada dasarnya bukan hanya mempertimbangkan dan merenungkan sikap kritis sang penyair pada tradisi, melainkan, lebih daripada itu, adalah sebuah upaya untuk membaca ulang ke-Indonesiaan kita secara lebih jernih. Sebagai pujangga, Rendra tidak hanya menciptakan puisi-puisi yang indah, dengan bahasa-bahasa yang plastis, imajinatif, serta sugestif, tetapi dari tangannya mengalir pula karya-karya yang penuh dengan kepedulian sosial serta semangat untuk menegakkan keadilan. Bahkan lakon-lakon dramanya penuh dengan gugatan dan pembelaan terhadap kaum yang terpinggirkan. Pendek kata, sang Burung Merak ini seorang budayawan, seorang intelektual yang sungguh-sungguh "Berumah di atas Angin", yang senantiasa tanggap ing sasmita dan selalu peka akan suara kalbu rakyat bangsanya.

Pablo Neruda, seorang penyair pemenang Nobel asal Chili, begitu terpesona oleh kemampuan artistik Rendra di atas panggung, lalu memberi julukan Si Burung Merak. Sebutan itu, menunjukkan dengan jelas betapa pria kelahiran Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935 adalah seorang seniman yang paripurna, yang tidak hanya kuasa mencipta kata-kata nan kontemplatif yang menakjubkan serta penuh renungan akan hidup, akan tetapi juga kuasa menyihir publik pemirsanya melalui olah teaterikalnya yang orisinal, dengan muatan-muatan pesannya yang senantiasa konstektual. Dengan demikian bolehlah dikata bahwa Rendra adalah sebagian cermin dari sejarah ke-Indonesiaan kita. Membaca Rendra, merenungkan keberadaannya pada hakekatnya adalah sebuah ziarah sejarah Tentang Indonesia kita.       
 (Warih Wisatsana)



Warnai pesan status dengan Emoticon.
Sekarang bisa dengan Yahoo! Messenger baru.

__._,_.___

Attachment(s) from satrio welang

4 of 4 Photo(s)

Recent Activity
Visit Your Group
Give Back

Yahoo! for Good

Get inspired

by a good cause.

Y! Toolbar

Get it Free!

easy 1-click access

to your groups.

Yahoo! Groups

Start a group

in 3 easy steps.

Connect with others.

.

__,_._,___

No comments: