Tuesday, October 06, 2009

[media-bali] HMP: NKRI TERANCAM BUBAR

 

Koran JAKARTA, 26 September 2009

 

NKRI TERANCAM BUBAR, PERLU DISIKAPI SEGERA

Oleh: HUTOMO MANDALA PUTRA (*)

 

Perjalanan bangsa telah sepakat memilih sebagai negara demokrasi, namun dalam prakteknya, demokrasi menjadi ajang yang menyengsarakan rakyat. Demokrasi baru slogan semata. Sementara itu, bangsa menghadapi permasalahan serius, diantaranya: Kesemrawutan Sistem Ketatanegaraan, Ancaman disintegrasi negara, Rekolonialisasi Ekonomi, Kesenjangan pertukaran barang dan jasa, Kelemahan jiwa wirausaha dan krisis kepercayaan diri, Kelemahan kelembagaan politik, sosial, hukum, dan kerusakan moral sebagian elit bangsa, serta ketergantungan asing, Tidak tanggap dalam menyikapi globalisasi dengan segala aspeknya.

 

Globalisasi sudah terjadi sejak jaman Hindu masuk ke Indonesia, dimana Nusantara merupakan sekumpulan Kerajaan yang berdiri sendiri-sendiri. Lalu disusul masuknya para Wali yang sambil berdagang menyebarkan ajaran Islam,  disusul dengan jaman kolonial dimana perusahaan dagang Belanda, yaitu VOC menguasai Nusantara dan mengontrol perdagangan rempah-rempah, kopi, teh, kelapa sawit, coklat, gula, dll komoditi yang ada di bumi Nusantara.  Makanya masih bisa kita lihat berbagai peninggalan jaman Belanda berupa perkebunan dimana-mana, yang sekarang menjadi BUMN yang disebut PTPN (PT Perkebunan Negara).

 

Dengan keterpurukan Indonesia saat ini, serta persoalan yang multidimensi tanpa penyelesaian, banyak yang mengkhawatirkan thesis Huntington tentang perpecahan bisa terjadi di Indonesia. Saya percaya Indonesia dengan Pancasilanya memiliki kedewasaan berbangsa yang tinggi. Memorandum Helsinki merupakan salah satu bukti nyata bagaimana persoalan Aceh diselesaikan melalui suatu model kompromistis dalam kerangka globalisasi, namun kurang menguntungkan bagi keutuhan NKRI.

 

Nama Nanggroe berarti Negara. Maka NAD "defacto" merdeka secara ekonomi namun secara politik tetap masih mengakui Republik Indonesia sebagai kedaulatan negara. Jelasnya semacam "franchise bendera Indonesia". Sebuah bentuk baru nasionalisme di era milenium. Kalau kita cermati isi perjanjian Helsinki, provinsi NAD boleh memiliki bank sentral sendiri artinya boleh mencetak matauang sendiri, boleh melakukan perdagangan antar negara serta transaksi keuangan atau pinjaman (loan) dengan negara lain secara mandiri, boleh mendirikan partai lokal, berhak atas aset sebesar 70%, sementara 30% adalah hak pemerintah pusat (Republik Indonesia). Dari sisi globalisasi, kompromi ini bisa dilihat sebagai model yang paling efisien. Bagi hasil aset 30% untuk Pemerintah Pusat boleh dianggap sebagai biaya franchising bendera Indonesia, sehingga provinsi NAD tetap mengakui "merah putih" ketimbang harus mengeluarkan ongkos mendirikan keduataan besar atau konsulat di setiap negara dan membangun militer sendiri yang biayanya tidak sedikit. Maka, 30% adalah biaya pinjam bendera. Demikianlah dari kacamata globalisasi yang disandarkan pada ekonomi.

 

Dialog saya dengan Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi, menyimpulkan bahwa kalau sampai terjadi perpecahan di Indonesia, maka biayanya amat besar. Anda ingat satu Bosnia yang pengungsinya hanya belasan ribu orang sudah menjadi beban dunia. Kalau Indonesia terpecah belah maka jutaan orang akan menjadi pengungsi dan akan menjadi beban dunia yang sangat berat. Ini tentu tidak diinginkan oleh warga dunia. Kita tahu bahwa suku-suku bangsa di Indonesia sudah tersebar diseluruh penjuru tanah air dengan identitas bangsa Indonesia tidak peduli dimanapun dia berada. Kalau sampai terjadi perpecahan, maka sukubangsa yang sudah menetap tidak daerah asalnya akan dikejar-kejar dan dibunuhi oleh suku asli seperti yang terjadi di Bosnia. Padahal sejak Sumpah Pemuda 1928 dikumandangkan, suku-suku bangsa di Indonesia sudah banyak melakukan kawin campur antar suku tanpa ada sutu masalah karena mereka percaya dan meyakini diri mereka sebagai bangsa Indonesia. Bahkan juga kawin antar agama, bukan hanya antar suku. Konsep Indonesia semacam itu indah sekali. Maka secara geo politik, tidak mungkin Indonesia dihancurkan atau dipecah-belah dengan dalih apapun karena dunia akan ikut menanggung akibatnya.

 

Maka, solusi kompromistis seperti NAD akan memberikan inspirasi kepada daerah-daerah lain. Ini adalah tantangan untuk pemerintah pusat apaibila tetap tidak melakukan perubahan yang bisa mensejahterakan rakyat serta mengarahkan proses otonomi daerah yang secara konvergen dan konsisten menuju suatu bingkai baru "Smart Indonesia Incorporated". 

 

Sering dinyatakan bahwa Indonesia amat didikte oleh asing. Globalisasi memang yidak bisa lepas dari proses dikte-mendikte antar negara. Indonesia tidak terkecuali. Sesungguhnya semua negara saling "mengintervensi", Amerika sendiri saat ini kewalahan menghadapi Cina yang mampu menawarkan harga produk yang jauh lebih murah. Di kita sendiri, bukankah Outlet Factory disejumlah kota tak terkecuali di Bandung, saat ini justru didominasi produk dari Taiwan, RRC dan juga Thailand, sama sekali bukan produksi industri setempat.

 

Soal "dikte-mendikte" di tingkat global, itu tergantung kemauan kita sebagai bangsa. Lihat saja Cina yang boleh dibilang "suka-suka", "maunya sendiri". Kita ini yang tidak jelas maunya apa sebagai bangsa. Dalam hal kedaulatan negara terlebih dibidang ekonomi, tidak seharusnya Indonesia sampai  didikte seperti yang terjadi dewasa ini,  karena Indonesia kaya raya. Sumberdaya alam dan mineral kita yang berlimpah itu seharusnya dikelola dengan orientasi untuk kepentingan rakyat banyak.

 

Jadi kalau dengan kekayaan alam yang melimpah serta rakyat yang demikian tangguh, tapi nyatanya  Indonesia masih didikte, itu berarti yang  salah kita sendiri. Hal ini tergantung dari kesadaran masyarakat dan pemerintah tentang aset-aset yang dimiliki, seperti dikatakan oleh  Hernando de Soto. Kesadaran itulah yang bisa memulai proses transformatif untuk mengubah aset-aset itu menjadi modal produktif yang bisa menggerakkan lokomotif perekonomian.  Disinilah pentingnya kesadaran publik, bahwa dalam diri kita sebagai bangsa  ada yang salah. Dan mestinya setelah diketahui dimana letak kesalahan tersebut, tidak perlu ada resistensi dalam menyatukan segenap kekuatan untuk menata kembali, agar kita segera bangkit dari keterpurukan, untuk segera mengejar  ketertinggalan yang sudah terlanjur terjadi.

 

Dengan pemahaman tersebut, maka yang perlu dijadikan prinsip atau landasan untuk memaknai nasionalisme baru Indonesia. Bukan lagi nasionalisme karena bangsa merasa senasib bekas dijajah Belanda, namun nasionalisme harus ditata ulang, dimaknai ulang, yakni apa manfaat keberadaan negara bagi nasib orang per orang secara nyata. Kata kuncinya adalah menjamin kesetaraan di bidang ekonomi, politik, sosial kultural, keamanan baik individu maupun kelompok tanpa pandang latar belakang primordialnya. Kesemuanya itu harus dibingkai oleh platform Indonesia Incorporated. Platform ini yang menjadi pengikat persatuan dan kesatuan nasional dalam arti baru yang relevan dengan jamannya, dan yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan peluang-peluang jaman baru untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.

 

Demikianlah secuil dari rasa keprihatinan saya sebagai warga bangsa, yang mendorong saya untuk memutuskan terjun dalam politik melalui pencalonan Ketua Umum Partai Golkar dalam MUNAS mendatang. Partai Golkar saya bawa untuk mempelopori pembenahan Indonesia secara fundamental sehingga kokoh menghadapi badai globalisasi yang tidak bisa dielakkan. Semoga Tuhan meridhoi. Amiin.

 

(*) Calon Ketua Umum Partai Golkar pada Munas 4-8 Oktober 2009

 

 

 


__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Give Back

Yahoo! for Good

Get inspired

by a good cause.

Y! Toolbar

Get it Free!

easy 1-click access

to your groups.

Yahoo! Groups

Start a group

in 3 easy steps.

Connect with others.

.

__,_._,___

No comments: